Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hari-Hari Jadi Suami: Catatan Suami untuk Istriku Tercinta

Ini aku, suamimu, yang akhirnya menulis di blog ini setelah membaca tulisanmu, “Dear Suamiku Tercinta”. Aku bukan penulis hebat seperti kamu, tapi aku ingin mencoba berbagi cerita dari sudut pandangku.

Hari-hari jadi suami

Hidup bersamamu adalah perjalanan yang penuh warna ada saat aku harus belajar sabar, ada saat aku tersenyum karena kehadiranmu. Aku harap tulisan ini bisa menunjukkan apa yang kurasakan sebagai suamimu.

Membaca Tulisanmu

Saat pertama membaca suratmu di blog, aku terdiam. Kata-kata terima kasih, permintaan maaf, dan ungkapan rindumu membuatku berpikir, “Apakah aku benar-benar layak disebut pahlawan hidupmu?” Aku tahu kamu menulis itu dari hati, dan aku tersentuh.

Kamu bilang aku imam terbaikmu, padahal aku sendiri sadar sering lupa atau salah saat memimpin sholat.

Tapi setiap kali aku mendengar bisikmu yang mengingatkan dengan lembut, aku merasa bersyukur punya istri yang begitu perhatian.

Belajar Jadi Suami

Menjalani hari-hari sebagai suami ternyata lebih dari sekadar tanggung jawab mencari nafkah.

Setiap hari bersamamu mengajarkanku banyak hal.

Bangun pagi untuk sholat berjamaah, misalnya aku yang dulu sulit membuka mata kini berusaha jadi yang pertama berdiri, demi memimpinmu dalam doa. Kadang aku grogi, takut salah baca atau lupa, tapi melihatmu di belakangku dengan penuh kesungguhan membuatku ingin terus menjadi lebih baik.

Aku ingat pertama kali kamu mencoba memasak untukku. Kamu bilang, “Aku mau bikin bubur spesial.” Aku menantikan sesuatu yang istimewa, tapi yang kudapat adalah bubur yang masih mentah di tengah dan lengket di mangkuk. Aku bilang, “Ini unik, Sayang,” sambil tersenyum, tapi di dalam hati aku kagum dengan usahamu.

Besoknya, kamu coba lagi dengan lebih hati-hati, dan aku tahu itu semua karena kamu ingin membuatku senang. Dari situ aku belajar, pernikahan adalah tentang saling mengerti aku dengan usahamu, kamu dengan kekuranganku.

Kebahagiaan dalam Hal Kecil

Bersamamu, aku menemukan kebahagiaan di momen-momen sederhana. Pernah kita duduk bersama di malam hari, kamu bersenandung pelan sambil memegang cangkir teh.

Aku ikut bernyanyi meski suaraku tak merdu, dan kita saling tersenyum. Momen itu mungkin biasa, tapi bagiku berarti aku pulang lelah dari kerja, dan kamu ada di sana, membuat semuanya terasa ringan.

Ada juga saat kita menonton film bersama. Kamu memilih cerita cinta yang penuh air mata, dan aku hanya duduk di sampingmu dengan popcorn di tangan.

Ketika kamu menangis di adegan sedih, aku memelukmu pelan dan berkata, “Ini cuma film, Sayang.” Tapi diam-diam, aku juga merasakan haru bukan karena filmnya, tapi karena aku bersyukur punya kamu yang selalu membawa perasaan dalam hidupku.

Beban yang Bukan Beban

Dalam tulisanmu, kamu bilang takut menjadi beban bagiku. Aku baca itu berulang-ulang, mencoba memahami kenapa kamu merasa begitu. Hidup memang tak selalu mudah ada hari-hari berat dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang menumpuk.

Tapi, Sayang, kamu bukan beban. Kamu adalah kekuatanku. Saat aku pulang dengan wajah lelah, secangkir teh buatanmu atau kata-katamu, “Istirahat dulu, aku ada di sini,” adalah hal yang membuatku bertahan.

Kamu juga meminta maaf tentang keluargamu, seolah mereka menambah bebanku. Tapi bagiku, keluargamu adalah keluargaku. Aku memilihmu, dan itu artinya aku menerima segalanya yang datang bersamamu. Kita menghadapi semua bersama itu janjiku kepadamu sejak hari pertama.

Harapan untuk Kita

Aku tahu kamu punya banyak mimpi sholat bersamaku sampai tua, berjalan di tepi pantai, atau hanya menikmati hari-hari biasa di rumah. Aku mungkin tak bisa mewujudkan semuanya secepat yang kamu inginkan, tapi aku berjanji akan berusaha.

Aku ingin kita menjalani hidup ini bersama, saling mendampingi dalam suka dan duka, hingga rambut kita memutih dan langkah kita perlahan.

Buatmu, istriku, terima kasih telah bersabar dengan kekuranganku saat aku lupa mengucapkan cinta setiap hari atau hanya diam saat kamu bercerita.

Aku mencintaimu, meski aku tak pandai mengungkapkannya seperti kamu. Tetaplah di sampingku, menjadi makmumku, menjadi pendampingku karena aku tak bisa membayangkan hidup ini tanpamu.

Penutup dari Hati

Menjadi suamimu adalah anugerah terbesar bagiku. Ada hari-hari sulit, ada pula hari-hari indah, tapi semua terasa berarti karena ada kamu. Semoga aku bisa menjadi imam yang membawamu lebih dekat kepada Allah, dan semoga kita terus bersama, bukan hanya di dunia ini, tapi hingga akhirat.

Jika ada waktu, aku akan tulis lagi mungkin tentang hari aku pertama kali bertemu keluargamu, atau rencana kecil yang sedang aku siapkan untukmu. Bersabarlah denganku, ya.