Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mimpi Kami Satu Bulan Setelah Menikah: Dari Cinta hingga Lapak Impian

Hari ini, Senin, 16 Oktober 2023, rumah tangga kami resmi berusia satu bulan. Alhamdulillah, tiga puluh hari pertama ini terasa seperti perjalanan singkat yang penuh warna ada tawa, sesekali canggung, namun selalu dipenuhi kebahagiaan.

Lapak Impian

Untuk saat ini, kami masih menumpang di rumah mertua, menjadikan sudut kecil di sini sebagai saksi bisu bagaimana dua hati belajar menyatu.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kedamaian dalam keluarga kecil kami, menguatkan iman, kesabaran, keikhlasan, dan tawakal sebagai pondasi kokoh menghadapi hari-hari mendatang.

Tak ada pernikahan yang luput dari ujian, bukan? Setiap pasangan punya cerita uniknya sendiri. Ada yang baru tahu pasangannya suka mendengkur di malam hari, ada yang harus menyesuaikan diri dengan tradisi keluarga yang berbeda, atau menavigasi hubungan penuh liku antara mertua dan menantu.

Beruntung, mertua kami begitu hangat menyambut kehadiran kami di rumah mereka. Tapi, dari sekian banyak hal, ada satu “bintang tamu” yang kerap muncul di obrolan malam kami: keuangan.

Masalah keuangan memang seperti bayangan yang sulit dihindari. Kadang ia datang dalam bentuk pendapatan yang tak seimbang dengan pengeluaran, tumpukan utang yang mengintai di sudut pikiran, atau ketiadaan dana darurat saat kejutan hidup tiba.

Kami pun masih belajar terutama saya dan istri bagaimana mengelola dompet dengan bijak, memilah mana kebutuhan yang tak bisa ditawar dan mana keinginan yang harus disimpan dulu di laci impian.

Dari sinilah ide itu bermula. Suatu malam, sambil duduk di teras rumah mertua dengan secangkir teh hangat, kami mulai bermimpi: bagaimana jika kami membangun lapak jualan? Bukan sekadar untuk menambah pundi-pundi, tapi juga sebagai langkah pertama menuju kemandirian, meski kami masih berlindung di bawah atap mertua.

Kebetulan, di samping rumah ini ada sepetak lahan kosong yang seolah memanggil untuk dihidupkan. Alhamdulillah, mertua kami dua sosok berhati emas yang tak pernah lelah mendukung langsung setuju saat kami utarakan rencana ini.

Namun, mimpi itu tak bisa diraih dalam semalam. Dengan dana yang terbatas, kami memutuskan untuk melangkah perlahan. Rencananya, November jadi titik awal: kami akan menuang pondasi pertama, dengan semangat dan doa sebagai campurannya.

Bulan berikutnya, kami akan menimbun tanah, lalu menyusun dinding batako bata demi bata, hingga lapak kecil itu berdiri tegak. Prosesnya mungkin lambat, tapi kami ingin setiap tetes keringat jadi bagian dari cerita manis yang suatu hari bisa kami kenang sambil tersenyum.

Istri saya sahabat sekaligus penyemangat terbaik selalu punya cara membakar semangat saya. “Yang penting kita bareng, Ka. Jatuh bangun ya kita hadapi sama-sama,” katanya suatu sore, sambil menatap lahan kosong yang akan jadi saksi perjuangan kami.

Bersamanya, saya belajar bahwa pernikahan bukan cuma soal cinta, tapi juga tentang membangun mimpi bersama, sekecil apa pun itu. Apalagi di tengah situasi kami yang masih menumpang, langkah ini terasa seperti pijakan pertama menuju hari-hari yang lebih mandiri.

Kami berdoa agar Allah SWT memudahkan setiap langkah, melimpahkan rezeki, menjaga kesehatan, dan mewujudkan harapan-harapan baik yang kami bisikkan di sela-sela malam.

Siapa tahu, beberapa bulan ke depan, lapak ini bukan cuma jadi sumber rezeki, tapi juga simbol perjuangan kami sebagai pengantin baru yang mulai dari nol, dari sudut rumah mertua. Bagaimana kelanjutannya? Tunggu cerita kami berikutnya!